Senin, 28 April 2014

Mengelola Keuangan Secara Syariah

,
Membahas tentang bank Syariah kita punya dua pertanyaan penting, yakni bagaimana mekanisme dan sistem bank tersebut. Mengingat menyandang status syariah berarti harus sesuai dengan hukum agama Islam.

Menjalankan sistem perbankan tak bisa dipisahkan dengan masalah bunga bank. Karena dalam sistem perbankan konvensional, bunga bank diwajibkan. Sementara dalam konteks hukum agama Islam bunga alias riba diharamkan. Hal ini dinyatakan dengan jelas dalam beberapa hadist Nabi. Lalu yang jadi pertanyaan, bagaimana bank syariah bisa menghindarkan diri dari sistem riba?

Saya bukanlah pakar atau ahli dalam hal keuangan. Namun dari pengalaman yang saya lihat dan terjadi pada kehidupan masyarakat di sekitar banyak kerancuan terjadi. Di tempat saya (sebuah kota kecamatan kecil) belum ada bank syariah, tapi ada lembaga keuangan sejenis koperasi dengan nama BMT (Baitul Mal Tafakul) Syariah.

Pelaksanaan BMT tak jauh beda dengan bank konvensional. Mereka mengadakan simpanan (tabungan, deposito), penyertaan modal, dan mengucurkan pinjaman (kredit). Namun mereka menggunakan sistem yang disebut mudharobah dan musyarakah atau bagi hasil. Sistem bagi hasil inilah yang mungkin menjadi inti dari sistem keuangan islami (syariah).

Dalam sistem keuangan syariah yang berbasis bagi hasil ini mengandung makna bahwa antara peminjam dan pemodal (kreditur dan debitur) sama-sama diuntungkan. Ada kesepakatan (kontrak) pinjaman yang menentukan berapa besar pengembalian uang pinjaman saat jatuh tempo atau berapa besar cicilannya per bulan. Juga disepakati jaminan atas pinjaman.

Ketentuan bagi hasil ini tampaknya mengadopsi pada konteks berdagang, memeliharaan ternak, atau menggarap sawah/kebun. Pada masa kehidupan nabi Muhammad SAW lazim berlangsung sistem seperti ini. Orang yang memiliki barang dagangan, ternak, atau kebun menyerahkan pengelolaannya pada orang lain. Sang pengelola ini akan mendapatkan bagian separo atau sesuai kesepakatan atas keuntungan dari barang yang dijual, hasil panen, atau berbiaknya hewan ternak. Jadi keduanya sama-sama mendapatkan keuntungan.

Namun dalam sistem bagi hasil ini juga berlaku hukum sama untung sama rugi. Jadi antara pemodal dan pengelola menanggung resiko atau konsekuensi yang sama bila menghadapi kerugian. Karena hakekatnya barang/modal yang dikelola adalah milik bersama. Sehingga bila terjadi kerugian seumpama gagal panen atau barang tak laku dijual, maka keduanya sama-sama menanggung kerugian. Tidak bisa si pemilik modal menuntut si pengelola menggantikan kerugian atas modal miliknya yang rusak, gagal, puso, hilang, atau tidak laku.

Jadi dalam sistem bagi hasil mengandung misi dan visi kebersamaan, kekeluargaan, kerja sama, kepercayaan, dan tanggung jawab. Sistem ini memang sangat ideal bagi terciptanya kesejahteraan kolektif. Karena Islam sangat menganjurkan saling tolong menolong dan mengasihi diantara sesama. Antara si kuat dan si lemah bersinergi, antara yang kaya dan miskin berkolaborasi, antara pemodal dan pengelola modal bersimbiose mutualisme.

Sistem semacam ini sangat bertolak belakang dengan sistem kapitalis yang lebih banyak menguntungkan kaum pemodal. Dan kebanyakan bank konvensional bertumpu pada sistem kapitalis ini. Pihak bank sebagai pemilik modal (kreditur) tak mau tahu dengan kerugian yang diderita peminjam (debitur). Mereka bahkan bisa bertindak kejam dengan menyita asset/harta milik peminjam jika sampai tidak mampu membayar pinjaman.

Kondisi semacam ini yang ingin dihindari oleh perbankan syariah. Sesuai amanah syari yang sangat mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Mekanisme dan sistem perbankan yang ingin dijalankan bank syariah berlandaskan pada sendi-sendi islami yang rahmatan lil alamin. Jika bisa diterjemahkan secara bebas bermakna keselamatan atau kesejahteraan bagi semuanya. Jadi misi bank syariah adalah memberikan keuntungan dan kesejahteraan bersama.

Lalu, bagaimana menerapkan prinsip ini? Mungkin secara teknis hal itu bisa dijawab dengan baik oleh para manajer yang mengelola bank syariah. Sebagai orang awam penulis hanya bisa memberikan pandangan atau pendapat. Seperti yang penulis terangkan di atas, pada kenyataannya terjadi kerancuan dalam menerjemahkan prinsip syariah dalam menjalankan perbankan syariah. Konsep mudharabah (bagi hasil) diaplikasikan secara rancu atau ambigu.

Suatu contoh kasus; kebetulan tetangga penulis mengajukan pinjaman ke BMT syariah. Ketika pinjaman itu cair dan ditetapkan batas jatuh tempo serta jumlah cicilan per bulan, iseng penulis hitung dan bandingkan dengan kredit pinjaman di bank konvensional yang sudah punya nama. Dengan pagu pinjaman dan jangka waktu pengembalian sama, ternyata berbeda jumlah cicilannya. Lebih besar cicilan di BMT syariah. Memang tidak disebutkan bunga atas pinjaman, tapi lebih semacam kesepakatan.

Hal ini mengindikasikan bahwa bank syariah pun ingin mengambil keuntungan atas modal yang dipinjamkan. Resiko kerugian yang harus ditanggung bersama baik pihak pemodal dan peminjam seolah diabaikan. Aplikasi bagi hasil dalam sistem bank syariah mungkin lebih ideal bila kredit yang dikucurkan benar-benar digunakan untuk usaha/bisnis. Karena sebagaimana prinsip bagi hasil murni, modal yang digunakan benar-benar dikelola untuk usaha/bisnis. Dengan begitu bisa dihitung berapa besar keuntungan yang bisa dibagi bersama. Begitu pun resiko kerugian yang harus ditanggung bersama.

Pada kenyataannya tidak semua kreditor menggunakan pinjaman untuk usaha/bisnis. Bahkan jika hanya mengucurkan dana untuk usaha/bisnis malah jarang. Karena peminjam kebanyakan menggunakan dana pinjaman untuk kebutuhan yang bersifat konsumtif atau kebutuhan lain seperti membangun rumah, berobat, biaya sekolah, bahkan menutup hutang lama. Jika sistem syariah benar-benar diterapkan, maka mestinya ada survey dan penentuan kelayakan bagi pengucuran dana pinjaman agar tidak keluar dari estimasi usaha. Tapi pada prakteknya hal ini jarang dilakukan.

Kenapa demikian? Karena jika semua calon kreditur ditanya untuk usaha apa dana yang dipinjam tentu tidak bakal banyak yang lolos. Yang lebih diutamakan justru dengan jaminan apa agar dana pinjaman bisa cair. Survey dan kelayakan usaha hanya sebagai formalitas belaka. Ketika dana pinjaman sudah di tangan kreditur, pihak debitur tak mau tahu bagaimana cara kreditur bisa mengembalikan dananya. Juga tidak peduli apakah usahanya bangkrut atau lancar. Jika hal semacam ini juga dijalankan oleh bank syariah, maka apa bedanya bank syariah dengan bank konvensional? Keduanya sama-sama menjalankan praktek kapitalisme, yakni memikirkan keuntungan an sich. Bedanya cuma; yang satu tidak menyebut istilah bunga dan diberi label syariah.

Menurut hemat penulis yang lebih ideal dalam pengelolaan bank syariah adalah dengan menerapkan sistem koperasi. Sebagaimana prinsip dasar koperasi; dari anggota untuk anggota. Hal ini sangat sesuai dengan nilai-nilai syariah yakni kebersamaan, kekeluargaan, kepercayaan, kerja sama, dan tanggung jawab. Dalam asas koperasi diutamakan adanya simbiose mutualisme atau sinergi menjalankan kegiatan simpan pinjam. Semua anggota koperasi memiliki saham atas modal koperasi, terutama penyertaan dana. Dengan sistem ini menjadikan anggota memiliki hak atas pembagian keuntungan.

Lalu ada pertanyaan; bagaimana mekanisme operasional bank yang berasas koperasi ini? Bagaimana menghitung CAR? Bagaimana menentukan modal? Bagaimana sistem pembagian keuntungannya? Dan lain sebagainya. Mengenai hal itu mungkin ahli keuangan yang secara teknis bisa menjelaskan. Namun di sini penulis bisa memberikan sebuah ilustrasi sederhana. Kebetulan ilustrasi ini juga telah dipraktekkan oleh sebuah kelompok swadaya masyarakat di lingkungan penulis tinggal.

Sebuah perkumpulan kaum wanita beranggotakan seratus orang melakukan usaha simpan pinjam. Mereka mengumpulkan dana secara berkala satu minggu sekali yakni sebesar Rp.1000,-. Dari seratus anggota itu dibatasi minimal menyertakan modal dua nama dan maksimal sepuluh nama. Dua orang ditunjuk sebagai administrator. Dari dana penyertaan terkumpul setiap satu minggunya mencapai ratusan ribu rupiah yang kemudian dipinjamkan kepada siapa yang membutuhkan dengan jasa sesuai kesepakatan. Jasa ini mungkin mirip dengan bunga, tapi besarnya tidak melebihi bunga bank pada umumnya.

Kini usaha simpan pinjam itu sudah berjalan selama tiga tahun. Setiap satu tahun sekali keuntungan (deviden) atas usaha simpan pinjam itu dibagikan kepada semua anggota, biasanya diberikan dalam bentuk sembako untuk menghadapi lebaran. Kini dana yang dikelola sudah mencapai puluhan juta rupiah. Mungkin ada pertanyaan, bagaimana jika terjadi kredit (pinjaman) macet atau ada yang mangkir membayar? Untuk menangkal hal itu, biasanya sudah ada nota kesepakatan yang dipatuhi semua anggota. Ada sanksi dan proses hukum sebagaimana diterapkan pada bank umum. Yang penting ada saling kepercayaan. Bagaimana pula bila ada orang di luar anggota hendak meminjam?

Semua peminjam otomatis harus menjadi anggota. Saham dari anggota baru biasanya dipotong dari pagu pinjaman. Dengan demikian semua peminjam adalah juga pemilik saham dari koperasi. Jika model bank koperasi semacam ini memiliki modal besar dan dikelola secara professional tentu akan sangat bermanfaat bagi masyarakat luas, terutama rakyat kecil. Sebab, prasyarat simpan pinjam diberlakukan dengan luwes dan tidak memberatkan.

Satu hal yang sering jadi hambatan bagi masyarakat kecil atau yang berekonomi lemah jika ingin meminjam uang baik itu untuk modal usaha atau kebutuhan lainnya adalah syarat pinjaman dengan menggunakan jaminan/borg. Sementara dari model simpan pinjam ala koperasi tidak membutuhkan syarat jaminan berupa sertifikat atau surat berharga lainnya, melainkan dengan saham yang dimiliki di dalam koperasi itu sendiri. Saham ini pun akan berkembang besar bila modal yang dikelola bertambah seiring keuntungan yang diperoleh. Idealnya, deviden tak perlu dibagikan tetapi ditambahkan sebagai modal baru. Dengan demikian, hakekatnya peminjam tak lain menggunakan uangnya sendiri.

Ilustrasi di atas mungkin terkesan menggampangkan persoalan, karena mengelola keuangan tidak sesimpel dan semudah itu. Banyak aspek teknis dan non teknis yang mempengaruhi kinerja sebuah lembaga keuangan. Tapi setidaknya dari gambaran di atas penulis ingin memberikan semacam masukan terhadap pengelolaan bank syariah agar tetap mengutamakan kepentingan bersama dan kemanfaatan bagi sesama. Prinsip kebersamaan, kepercayaan, kerja sama, dan tanggung jawab jangan sampai diabaikan. Bank syariah semestinya bisa berperan sebagai agen penguatan ekonomi masyarakat, terutama memberdayakan masyarakat berekonomi lemah agar bisa tercapai kesejahteraan!

Prinsipnya dalam hukum syari ditegaskan segala urusan dunia adalah mubah selama tidak ada larangannya. Jadi manusia bebas menjalankan kegiatan duniawinya (mengelola keuangan) selama membawa kemaslahatan dan tidak membawa mudharat terhadap umat! (Oleh Eko Hartono - sumber ekohartono.blogdetik.com)

SEGERA WUJUDKAN IMPIAN ANDA KE TANAH SUCI, HANYA DENGAN MEMBAYAR TANDA JADI 3,5 JT UNTUK PAKET UMROH (DAPAT VOUCHER US$ 350) ATAU 5 JT UNTUK PAKET HAJI PLUS (DAPAT VOUCHER US$ 500).

SELANJUTNYA ANDA BISA LUNASI SISANYA DENGAN MEREFERENSIKAN KE SAUDARA, TETANGGA ATAU TEMAN, MAKA KOMISI AKAN SEGERA ANDA TERIMA PADA SAAT MEREKA MEMBAYAR TANDA JADI SAJA, KOMISI SEBESAR 1,5 JT (UMROH/HAJI REGULER) DAN 2,5 JUTA (HAJI PLUS).

GRATIS ASURANSI KECELAKAAN SAMPAI 50 JT DARI ASURANSI BUMIPUTERA SYARIAH.Baca Info Lengkapnnya di Link INI

0 komentar to “Mengelola Keuangan Secara Syariah”

Posting Komentar